Dibuat : 2024-10-09 23:10:45
Dilihat : 49 Kali
Sumpah
Pelengkap (Suppletoir) dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama
0leh:
Ovhan Heriawan, S.H
(PPNPN
Pengadilan Agama Giri Menang)
Sumpah
pelengkap atau suppletoir eed adalah
instrumen hukum yang diatur dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia untuk
melengkapi bukti yang tidak cukup meyakinkan dalam persidangan. Dalam perkara
perceraian di Pengadilan Agama, sumpah pelengkap sering digunakan ketika salah
satu pihak tidak memiliki bukti yang kuat untuk mendukung gugatan perceraian.
1. Definisi dan
Karakteristik Sumpah Pelengkap
Sumpah
pelengkap merupakan sumpah yang diminta oleh Hakim kepada salah satu pihak guna
melengkapi kekurangan bukti dalam perkara perdata. Sumpah ini digunakan sebagai
langkah terakhir jika alat bukti yang ada belum cukup meyakinkan Hakim. Menurut
R. Subekti, sumpah pelengkap hanya diminta jika alat bukti mencapai tingkat dugaan
kuat (prima facie), namun masih ada keraguan dari Hakim terhadap fakta yang
diajukan.¹
2. Landasan
Hukum Sumpah Pelengkap di Indonesia
Penggunaan
sumpah pelengkap diatur dalam KUHPerdata Pasal 1929 dan Pasal 1931, serta Pasal
156 HIR dan Pasal 310 RBG, yang menjadikan sumpah pelengkap sebagai alat bukti
dalam perkara perdata. Hukum Islam juga mengakui sumpah sebagai alat bukti
penting, termasuk dalam perceraian. Beberapa landasan hukum Islam terkait
sumpah meliputi:
- Surah Al-Maidah ayat 106, yang menyatakan bahwa sumpah harus
dilakukan dengan nama Allah untuk memperkuat kesaksian.
- Hadis Rasulullah SAW: ("Al-bayyinat
‘ala al-mudda’i wa al-yamin ‘ala man ankara" Artinya: "Bukti ada
pada Penggugat, dan sumpah diberikan kepada terdakwa" (HR. Al-Bukhari
dan Muslim). Jika Penggugat tidak memiliki bukti yang cukup, terdakwa
berhak mengucapkan sumpah untuk membantah tuduhan.
Kompilasi Hukum
Islam (KHI) Pasal 54 juga mengatur bahwa jika bukti Penggugat
kurang, Tergugat dapat membantahnya dengan sumpah.
3. Fungsi dan
Peran Sumpah Pelengkap dalam Perkara Perceraian
Dalam perkara
perceraian di Pengadilan Agama, Hakim dapat meminta sumpah pelengkap jika salah
satu pihak tidak mampu menghadirkan bukti yang cukup untuk mendukung gugatan.
Yang mana pada kondisi zaman modern bahwa perselisihan dan pertengkaran tidak selalu
terkesan vulgar dan diketahui banyak orang Misalnya, dalam kasus perceraian yang
disebabkan oleh perselingkuhan atau kekerasan dalam rumah tangga yang mana
hanya terbatas kadang hanya antara Penggugat dan Tergugatlah yang mengetahui
kejadian tersebut dan bukti seringkali tidak memadai.⁵ Dalam kondisi ini,
sumpah pelengkap dimintakan oleh Hakim guna memperkuat bukti yang ada.
Sumpah
pelengkap memiliki konsekuensi signifikan. Jika pihak yang diminta menolak
bersumpah, posisi hukumnya dapat melemah.⁶ Sebaliknya, sumpah yang diucapkan
dapat memperkuat klaim pihak tersebut sehingga Hakim cenderung memutuskan
perkara sesuai dengan dalil yang diperkuat oleh sumpah tersebut.
4. Implikasi
Penggunaan Sumpah Pelengkap dalam Perceraian
Penggunaan
sumpah pelengkap tidak hanya memiliki konsekuensi hukum tetapi juga moral dan
spiritual. Dalam konteks peradilan agama, sumpah ini sangat penting karena
bersumpah atas nama Tuhan dianggap sebagai tindakan serius dengan tanggung
jawab moral yang besar.⁷ Sumpah palsu, baik disengaja maupun tidak, dapat
merusak integritas peradilan dan menimbulkan ketidakadilan.⁸
5. Peran Hakim
dalam Menentukan Validitas Sumpah Pelengkap
Hakim di
Pengadilan Agama memegang peranan penting dalam menentukan apakah sumpah
pelengkap dapat diterima sebagai alat bukti yang sah dan meyakinkan.⁹ Hakim
harus mempertimbangkan dengan cermat bukti-bukti yang ada, serta menilai
kejujuran dan niat pihak yang akan bersumpah.¹⁰ Sumpah pelengkap tidak boleh
digunakan sembarangan dan hanya boleh diminta jika alat bukti lain tidak cukup
kuat.
Kesimpulan
Sumpah
pelengkap merupakan instrumen hukum penting dalam perkara perceraian di
Pengadilan Agama, tidak hanya berdasarkan hukum positif tetapi juga nilai-nilai
moral dan spiritual dalam hukum Islam. Implikasinya signifikan terhadap putusan
Hakim, sehingga sumpah ini harus digunakan secara bijaksana dengan
mempertimbangkan semua aspek hukum dan moral yang terlibat.
Catatan Kaki:
- R. Subekti, Hukum Pembuktian,
(Jakarta: Pradnya Paramita, 2005), 45.
- Ahmad Rofiq, Hukum Islam di
Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), 189.
- Sudikno Mertokusumo, Hukum
Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2014), 72.
- Abdul Manan, Penerapan Hukum
Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2016),
138.
- Amir Syarifuddin, Garis-garis
Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2004), 115.
- Rachmat Syafe’i, Ilmu Hukum
Acara Perdata Islam di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), 84.
- Cik Hasan Basri, Peradilan
Agama dalam Politik Hukum Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), 92.
Bibliografi:
- Basri, Cik Hasan. Peradilan
Agama dalam Politik Hukum Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
- Manan, Abdul. Penerapan
Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: Kencana,
2016.
- Mertokusumo, Sudikno. Hukum
Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 2014.
- Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di
Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013.
- Subekti, R. Hukum Pembuktian.
Jakarta: Pradnya Paramita, 2005.
- Syarifuddin, Amir. Garis-garis
Besar Fiqh. Jakarta: Kencana, 2004.
- Syafe’i, Rachmat. Ilmu Hukum
Acara Perdata Islam di Indonesia. Bandung: Pustaka Setia, 2012.